Lebaran Idul Fitri tinggal beberapa hari lagi. Di malam takbiran nanti, di seluruh penjuru tanah air akan bergema takbiran. Selain takbir, beragam corak penyambutan malam kemenangan itu pun di lakukan. Ibarat kata, umat Islam yang menjalankan puasa telah menang berperang melawan hawa nafsu.
Suatu yang menarik bisa dilihat di tepi Sungai Kapuas, Pontianak, Kalimantan Barat. Setiap malam takbiran, berjejer puluhan meriam karbit. Biasanya, meriam ini berdiameter 50 centimeter dengan panjang empat meter. Diletakkan berkelompok, antara dua sampai enam meriam di atas panggung yang terbuat dari kayu nibung. Moncong-moncong meriam itu diarahkan ke sungai.
Meriam ini kemudian meriam disulut. Berdentam bersahut-sahutan. Suaranya terdengar hingga radius empat kilometer. Menggetarkan setiap kaca dan dinding rumah warga di sepanjang Sungai Kapuas. Tapi warga tak jeri. Acara itu berlangsung sejak maghrib hingga tengah malam.
Tradisi meriam karbit di malam Idul Fitri memang sudah membekas di benak warga Pontianak. Tidak sah rasanya jika menyambut malam lebaran tanpa menyaksikan kedahsyatan meriam di tepi Sungai Kapuas. Sahut-menyahut dentuman adalah cara warga kota di tepi Sungai Kapuas ini untuk menyambut hari kemenangan.
Meriam itu dibuat dengan cara membelah kayu gelondongan menjadi dua bagian. Kayunya bisa berjenis pohon belian, ramin, atau meranti. Kayu yang sudah berbentuk setengah lingkaran tersebut kemudian dipahat hingga berbentuk huruf "U". Setelah itu, kedua kayu disambung kembali dan diikat menggunakan rotan ukutan jari orang dewasa serta dipaku agar kuat. Bagian belakangnya dicor dengan semen.
Untuk menyalakan, meriam ini lalu diisi dengan air dan dimasukkanlah karbit sebagai mesiu. Karbit yang bereaksi dengan air akan menghasilkan gas yang jika disulut dengan api akan mengakibatkan ledakan. Untuk satu kali permainan paling tidak dibutuhkan sekitar 3-5 ons karbit.
Kayu gelondongan dengan diameter 50 centimeter meter dan panjang empat meter salah satunya bisa didapatkan warga dari Desa Ambangah, Kecamatan Kubu Raya, berjarak sekitar 21 kilometer dari Kota Pontianak. Harganya Rp 2,5 juta.
Karena cukup mahal, dana untuk pembuatan meriam karbit biasanya dikumpulkan secara swadaya. Beberapa pemuda dari masing-masing kampung akan mendatangi kantor pemerintah dan swasta, mengajukan proposal dan meminta sumbangan untuk acara tersebut
Permainan ini adalah tradisi lama kota Pontianak. Mereka melakukannya satu hari menjelang Hari Raya Idul Fitri. Dan tiga hari setelahnya.
Konon, permainan tradisional warga Pontianak ini tak lepas dari sejarah berdirinya kota Pontianak. Saat kota Pontianak didirikan tahun 1771, pendiri kota Pontianak, Syarif Abdurrahman, menembakkan meriam ke arah daratan. Katanya, ini adalah cara untuk menakuti dan mengusir roh jahat yang banyak bergentayangan di daratan.
Untuk memperingati peristiwa ini, penduduk pun membuat meriam-meriam yang terbuat dari batang kayu besar yang disimbolkan sebagai meriam dan menembakkannya ke seberang sungai. Karena sudah menjadi ritual tiap bulan Ramadan, maka jadilah permainan ini tradisi yang tak terpisahkan dari budaya kota Pontianak.
Tahun lalu, malah sempat digelar festival meriam karbit. Pesertanya mencapai 40 kelompok. Jumlah meriam yang berjajar di tepi Sungai Kapuas mencapai 200 buah! Tahun ini, acara ini malah masuk ke dalam agenda resmi pariwisata “Visit Kalbar 2010.”
Sumber : http://id.promotion.yahoo.com/ramadan/article?blogid=ramadan&postid=37&viewPost=1
Share
Comments
0 comments to "Meriam di Malam Takbiran"
Post a Comment